Paradoks Netanyahu: Satu Tangan Israel Pegang Senjata, Tangan Lainnya Ulurkan Perdamaian
Dalam panggung politik Israel yang tak pernah stabil, Benjamin Netanyahu berdiri bagai seorang pesulap tua yang terampil memainkan dua kartu sekaligus. Pertama kartu militer untuk melanjutkan genosida. Kedua adalah kartu gencatan senjata dan perdamaian.
Dengan bangga ekstremis ini menunjukkan kebanggaan karena militer Israel menjatuhkan 153 ton (337.307 pon) bom ke sasaran di Gaza sebagai tanggapan atas apa yang dikatakannya sebagai pelanggaran gencatan senjata oleh kelompok Palestina Hamas. Hal itu dia sampaikan kepada Knesset
"Satu tangan kita memegang senjata, tangan lainnya terulur untuk perdamaian," ujar Netanyahu kepada anggota Knesset.
Paradoks ini bukan lagi sekadar strategi politik, melainkan cermin dari realitas kompleks yang dihadapi Negeri Zionis itu sendiri. Di tengah desing peluru dan ledakan di Gaza, politisi ekstrem ini justru membuka ruang dialog dengan Palestina—sebuah kontradiksi yang membuat dunia internasional mengernyitkan dahi.
Di depan peta strategi militer yang dipenuhi simbol-simbol tempur, Netanyahu dengan lantang menyatakan komitmennya untuk "menghancurkan Hamas sampai ke akar-akarnya." Wajahnya berkerut ketika menunjuk data intelijen tentang terowongan-terowongan bawah tanah di Rafah.
Namun dalam nada yang sama beratnya, ia tiba-tiba beralih membicarakan visi perdamaian jangka panjang. Transisi antara bahasa perang dan diplomasi terjadi begitu cair, seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Dalam sebuah pertemuan terbatas dengan para jenderalnya, Netanyahu pernah berbisik lirih: "Kita harus berperang seperti belum pernah berperang sebelumnya, agar kita bisa berdamai seperti belum pernah berdamai sebelumnya." Kalimat paradoksal ini menjadi pedoman taktis yang membingungkan banyak pengamat.
Di siang hari, ia mengawasi latihan tempur pasukan khusus di Gurun Negev; di malam yang sama, ia menerima telepon dari mediator Qatar untuk membahas pertukaran tahanan.
Sejarah panjang Netanyahu menunjukkan pola yang sama: setelah Operasi Pillar of Defense 2012, ia justru menyetujui gencatan senjata yang diprakarsai Mesir. Pasca-Operasi Protective Edge 2014, pemerintahannya membuka negosiasi tidak langsung dengan Hamas. Kini, di tengah Operation Iron Swords yang berdarah-darah, ia kembali mengizinkan pembicaraan perdamaian—seolah setiap penghancuran harus diimbangi dengan penawaran rekonsiliasi.
Para psikolog politik menduga ini adalah manifestasi dari warisan ayahnya, sejarawan Benzion Netanyahu, yang mengajarkan bahwa kekuatan dan diplomasi adalah dua sayap burung yang sama-sama diperlukan untuk terbang. Tapi dalam praktiknya, pendekatan ini sering terlihat seperti skizofrenia politik: satu hari Netanyahu mengancam akan menginvasi Lebanon, hari berikutnya ia menjanjikan bantuan kemanusiaan untuk warga Gaza.
Di kancah internasional, paradoks Netanyahu menuai reaksi beragam. Blok Barat melihatnya sebagai realita politik yang cerdik, sementara Dunia Arab mengecamnya sebagai hipokrisi terstruktur. Tapi bagi Netanyahu, ini justru menjadi kekuatan—ia bisa berbicara bahasa halus dengan Washington sambil tetap mempertahankan dukungan pemilih sayap kanan di domestik.
Paradoks Netanyahu terasa seperti lelucon tragis. Ibu dari seorang tentara IDF yang gugur di Gaza bertanya: "Jika perdamaian mungkin, mengapa anak saya harus mati? Jika perang diperlukan, mengapa kita berbicara damai?" Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menggantung di udara tanpa jawaban yang memuaskan.
Paradoks Netanyahu mungkin bukan sekadar taktik politik, melainkan cermin dari paradoks yang lebih besar: paradoks Israel sendiri, negara yang lahir dari perang tetapi ingin perdamaian
Rusak Gencatan Senjata
Pemerintahan Presiden Donald Trump semakin khawatir kepala otoritas Israel Benjamin Netanyahu akan membahayakan perjanjian gencatan senjata Gaza dengan Hamas, media AS melaporkan pada Selasa.
The New York Times, mengutip pejabat Gedung Putih yang tidak disebutkan namanya, melaporkan bahwa kunjungan Wakil Presiden JD Vance ke Israel bertujuan menekan Netanyahu agar mematuhi gencatan senjata di Gaza dan “menambah makna simbolis untuk menunjukkan komitmen pemerintah menjaga kesepakatan itu tetap berlaku.”
Sebelumnya, utusan AS untuk Timur Tengah Steve Witkoff dan menantu Presiden Donald Trump, Jared Kushner, sudah mendarat di Israel pada Senin untuk melakukan pembicaraan dengan Netanyahu dan pejabat lainnya mengenai implementasi kesepakatan tersebut.
Seorang pejabat senior AS mengatakan kepada harian AS tersebut bahwa Witkoff dan Kushner percaya bahwa perjanjian gencatan senjata “dalam bahaya kegagalan.”
Strategi kedua utusan tersebut di Israel adalah “mencoba mencegah Netanyahu melanjutkan serangan habis-habisan terhadap Hamas,” kata sumber tersebut.
The New York Times melaporkan bahwa pembicaraan antara Witkoff dan Kushner di Israel berfokus pada “sejumlah hal yang lebih rumit yang belum didefinisikan dalam kesepakatan awal mereka,” seperti pembentukan pasukan penjaga stabilitas dan perlucutan senjata Hamas.
Israel melancarkan serangkaian serangan udara mematikan di Jalur Gaza pada Minggu, menewaskan sedikitnya 44 warga Palestina setelah menuduh Hamas telah menyerang pasukannya di kota Rafah di selatan. Kelompok Palestina membantah terlibat dan menegaskan kembali komitmennya terhadap gencatan senjata.
Trump telah menegaskan bahwa gencatan senjata di Gaza tetap efektif meskipun ada serangan Israel.
Kesepakatan gencatan senjata mulai berlaku pada 10 Oktober di Jalur Gaza, berdasarkan rencana bertahap yang disampaikan oleh Trump. Fase pertama mencakup pembebasan sandera Israel dengan imbalan tahanan Palestina.
Rencana tersebut juga mencakup pembangunan kembali Gaza dan pembentukan mekanisme pemerintahan baru tanpa Hamas.
Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan perang genosida Israel telah menewaskan lebih dari 68.200 orang dan melukai lebih dari 170.200 orang sejak Oktober 2023.


0 Response to "Paradoks Netanyahu: Satu Tangan Israel Pegang Senjata, Tangan Lainnya Ulurkan Perdamaian"
Posting Komentar